Pandemi Covid-19 masih berlangsung. Banyak cara yang tengah diterapkan untuk meringankan penderitaan warga masyarakat yang terdampak pandemi ini. Cara yang dimaknai solusi tersebut diwujudkan misalnya dengan pengucuran dana pemerintah untuk pencegahan penyebaran Covid-19. Ada juga solusi lain yang tentunya "viral" saat ini, yakni bantuan-bantuan untuk warga miskin dan terdampak Covid-19. Jenis bantuan tersebut yakni bantuan langsung tunai maupun sembilan bahan pokok (sembako), yang keduanya diberikan secara bertahap.
Berbagai bantuan Covid-19 tersebut sampai saat ini masih dalam proses penyaluran kepada warga masyarakat. Berbagai suara senang maupun sumbang turut muncul ditengah proses penyaluran tersebut. Suara-suara tersebut bermuara pada istilah-istilah tertentu yang menuai pro dan kontra. Transparansi dan keadilan adalah contoh istilah yang bisa ditarik kesana-kemari oleh berbagai pihak untuk membela diri.
Ujian berupa pandemi ini telah menampilkan profil-profil manusia dengan perangainya. Tak usah membahas detail tentang kemungkinan sebagian masyarakat yang mempunyai sikap dan pandangan pesimistis. Di sisi lain, ternyata banyak warga masyarakat yang tetap tegar dalam jalan syukur. Meski goda nafsu untuk memperkeruh suasana itu ada, namun orang-orang ini memilih fokus untuk produktif. Tidak menyelewengkan penyaluran bantuan, juga tidak meminta bantuan jika itu memang bukan haknya.
Krjogja.com (06/06/2020) menyebutkan bahwa Pemkot Yogya mengapresiasi kesadaran warga yang sudah terbangun dengan baik. Terutama bagi warga terdampak pandemi Covid-19 namun merasa dirinya mampu sehingga mengembalikan bantuan yang sudah diterima sebelumnya.
Berita tersebut hanya satu dari sekian kejadian yang mungkin tidak sempat diliput media. Kembali, hal itu menunjukkan banyak warga masyarakat masih mempunyai sanubari untuk bersyukur. Tentu saja syukur yang tak hanya sebatas di hati dan mulut, tetapi lebih pada implementasi konkret dengan perbuatan.
Alloh Yang Maha Pemurah telah berjanji bahwa bila seorang hamba pandai bersyukur, maka Ia akan menambahkan nikmatNya dari arah yang tiada disangka. Nikmat yang melegakan ini pastinya tidak dapat dinilai dengan logika materi manusia. Oleh karena itu, terlalu naif dan nista jika seorang insan mendustakan segala pemberian Tuhan tersebut.
Syukur dimata Proklamator
Bung Karno dalam pidatonya kala Sidang BPUPKI pada tanggal 1 Juni 1945 mengucapkan syukur berulang kali. "Di dalam masa peperangan itulah kita mendirikan negara Indonesia, - di dalam gunturnya peperangan! Bahkan saya mengucap syukur alhamdulillah kepada Allah Subhanahu wata'ala, bahwa kita mendirikan negara Indonesia bukan di dalam sinarnya bulan purnama, tetapi di bawah palu godam peperangan dan di dalam api peperangan."
Ia paham bahwa Alloh akan selalu memberikan hikmah terbaik meskipun melalui proses yang berat. Dalam hal ini ia menyebutkan proses menuju suatu tatanan yang baru yakni kemerdekaan Indonesia, yang timbul setelah melalui proses perjuangan yang berdarah-darah. Hikmah syukur itulah yang kemudian dijiwai para pejuang sehingg membuat Indonesia berdiri dengan kuat.
Sama halnya dengan kondisi Indonesia sekarang, yang sedang digembleng dengan pandemi Covid-19. Berbagai sektor seperti ekonomi, politik, sosial budaya terimbas karena pandemi ini. Berkaca pada optimisme Bung Karno di atas, sebagian masyarakat percaya bahwa setelah pandemi Covid-19 ini selesai, Indonesia akan lebih kokoh membangun dalam segala bidang.
Akselerasi Transmisi Syukur
Satu penyakit (meskipun kronis) yang menjangkit pada satu manusia dan tidak menjangkit manusia lain dapat membuat keluarga dan kolega berduka. Lebih lanjut, suatu penyakit yang mempunyai akselerasi transmisi yang tinggi, yang menyebabkan banyak manusia sakit, tentu tidak hanya duka yang muncul namun perhatian khusus akan turut mengemuka dalam bentuk penanggulangan kolektif. Oleh karena itu, dalam dunia kesehatan, transmisi merupakan hal yang membuat suatu penyakit mempunyai bobot perhatian lebih.
Masih berbicara tentang transmisi, ternyata virus Corona dan rasa syukur menjadi dua hal yang menarik untuk diperbandingkan. Di satu sisi Virus Corona dengan transmisinya yang progresif dan masif menghasilkan pola-pola yang merugikan manusia. Di sisi lain, transmisi rasa syukur dari satu manusia ke manusia yang lain akan menghasilkan produk atau keluaran yang membahagiakan. Tentunya jika tujuan hidup manusia adalah kebahagiaan, maka sudah seyogianya mindset manusia adalah meminimalisir transmisi Virus Corona dan memaksimalkan transmisi syukur.
Selaku pihak yang berwenang dan bertanggungjawab, Pemerintah telah membuat haluan untuk meminimalisir transmisi Virus Corona. Haluan tersebut memiliki tajuk protokol kesehatan aman dari Covid-19. Dalam hal ini, kesadaran dan kepedulian adalah kunci utama membangun mindset untuk meminimalisir transmisi virus tersebut.
Lalu bagaimana dengan transmisi syukur? Hari ini dan kedepannya, kita betul-betul membutuhkan manusia yang berani untuk memberikan keteladanan untuk bersyukur. Apalagi keberanian tersebut muncul dalam kondisi terdampak pandemi seperti sekarang ini. Dalam hal ini berani bukanlah sombong atau pongah. Berani yang dimaksud adalah niat hati untuk melawan ketergantungan akan bantuan, kemalasan berpikir dan kedangkalan moral sosial.
Alloh Yang Maha Pengasih tentu tidak akan membebani manusia diluar batas kemampuannya. Ketika manusia berani berproses dengan bergerak, belajar, bekerja secara produktif dan persisten maka pasti akan ada jalan menuju kebahagiaan. Proses tersebut akan dilihat, didengar dan diresapi manusia yang lain. Itulah transmisi syukur. Pekerjaan rumah kita adalah mengakselerasi transmisi tersebut agar tidak kalah dengan tren grafik transmisi Virus Corona.
Sidoluhur, 04 Juli 2020
Penulis : Fajar Nugroho, S.P., M.Kom. (Carik Sidoluhur)